Tidak ada pertanda apapun yang dirasakan oleh John Bangau dan ayahnya yang akan pulang kampung hari itu. Namun tak disangka-sangkanya, sebuah kecelakaan naas menimpa pesawat yang mereka tumpangi. Ayahnya tewas dan John terkatung-katung selama berhari-hari di hutan dalam keadaan penuh luka dan putus asa. Bagaimana ia bisa selamat? Inilah penuturannya.
"Malam sebelumnya saya dan bapak sedang bungkus-bungkus barang yang akan dibawa pulang. Saya sama bapak selalu bercanda saat itu, maksudnya kami sudah tidak sabar kapan bisa sampai di kampung dan bagaimana mama nanti akan menyambut kami. Seperti biasa-biasa saja. Tidak berpikir yang lain-lain. Paginya sebelum kami berangkat kami berdoa dulu mohon perlindungan dalam perjalanan lalu berangkat. Hari itu banyak teman-teman saya yang mengantar keberangkatan saya karena mungkin saya pulang kampungnya agak lama. Suasana hari itu rasanya gembira, tidak ada pikiran akan ada sesuatu yang terjadi. Biasa-biasa saja."
Sesampainya di pesawat, keceriaan masih tergambar di wajah John. Kerinduan kepada keluarga akan segera terbayarkan, tak terlintas sedikitpun akan adanya sebuah tragedi yang sedang mengintainya.
"Disamping saya duduk paman saya. Saya ngobrol dengan dia. Di depan duduk bapakku, dan dibelakangku teman-temanku. Ditengah perjalanan, saya sudah merasa ngantuk. Karena suasana masih gelap, dan masih berkabut sehingga kami tidak bisa melihat kebawah, akhirnya saya tidur."
Sesaat John terlelap, kemudian terjaga seakan dia merasakan kejanggalan di dalam pesawat.
"Sesaat saya terbangun dari tidur, saya sadar kalau pesawat ini terbang sangat rendah. Sepertinya ujung pohon-pohon bisa terkena. Saat itu semua masih tenang-tenang, tidak ada yang merasa ada gangguan. Saya sempat bicara seperti ini, ‘loh.. kenapa ini begitu rendah...' Setelah itu tiba-tiba hilang.."
Kecelakaan itu terjadi begitu cepat. Hingga John menyadari bahwa pesawat yang ia tumpangi tidak akan pernah sampai ke tujuannya.
"Saat itu saya seperti tidak ingat apa-apa. Seperti dalam mimpi. Ketika saya sudah bisa melihat tempat saya berada, saya merasa heran kenapa bisa begini. Tadi kan saya berada di pesawat, kok sekarang saya ada di hutan begini dengan keadaan terluka yang sangat parah begini. Itu yang sempat muncul dalam pikiran saya. Saya pikir, saya sendiri yang jatuh, dan yang lain sudah sampai di tujuannya. Saya bingung mencari jalan keluar dan ingin cepat-cepat pulang kampung."
Tubuh John penuh dengan luka-luka, namun ia belum benar-benar menyadari akan apa yang sebenarnya ia alami.
"Selama di hutan, yang saya pikirkan hanya mencari jalan keluar. Karena saya sendirian, ngga ada yang menemani, inginnya cepat-cepat pulang, ingin cepat-cepat ketemu keluarga yang ada di kampung. Saat itu saya betul-betul sadar kalau saya membutuhkan Tuhan untuk menolong saya. Saya berdoa dan terus berjalan tanpa tahu arahnya kemana."
Langkah John terhenti sejenak, dia melihat sebuah benda yang tak asing baginya. Namun hatinya dipenuhi keragu-raguan. Selangkah demi selangkah, ia berusaha mendekat.
"Saya melihat bangkai pesawat dan merasa heran. Saya tidak melihat adanya mayat atau barang-barang yang ada di pesawat. Saya memegang badan pesawat tersebut dan langsung pergi karena takut."
Hari semakin larut dan gelap, John merasa lelah dan mengantuk. Kakinya tak kuat lagi untuk melanjutkan perjalanan sehingga ia memutuskan untuk istirahat.
"Hari pertama di hutan, saya tidur di bawah pohon. Waktu malam hujan turun, dan kalau di Kalimantan kalau hujan biasanya banyak sekali lintah dan dingin lagi. Ketika bangun pagi, tubuh saya sudah penuh dengan lintah. Saya lihat di luka saya, lintahnya besar sekali. Malam kedua juga sama, hujan. Saya menginap di gua sampai pagi."
Dalam kesakitan dan keletihan yang luar biasa, rasa lapar dan kesendirian dalam hutan, seakan memupuskan harapan hidupnya. Keputusasaan menggerogoti jiwanya, tidak ada pertolongan baginya di hutan yang dingin dan sunyi itu.
"Di hari ketiga itu saya berdoa supaya bisa bertemu dengan bapak saya."
Ditengah keputusasaan dan kebingungannya, sesuatu yang aneh terjadi.
"Di hari ketiga bapak saya benar-benar ada, dia hadir. Dia bawain saya air. Kalau saya haus, saya minta, ‘Pak, saya minum.' Dia kasih saya air. Saya buka kalengnya, saya minum. Kalau saya bilang, ‘Pak, saya mau makan,' dia kasih saya snack roti, saya makan. Itu selama satu hari satu malam. Malamnya kami berdua tidur di bawah pohon sambil bercerita. Paginya, saya merasa celana yang saya pakai itu berat sekali. Kalau basah kan berat, selain itu juga sudah robek-robek. Saya buka, saya lipat dan saya kasih sama bapak. ‘Pak, tolong bawakan celana ini.' Waktu diambil, saya langsung berputar kebelakang, saat saya tengok bapak sudah hilang. Waktu hilang, saya jalan terus."
Dalam kesadaran yang semakin menipis, John tetap berusaha mencari jalan keluar dari hutan itu. Ia bahkan tak tahu lagi kemana kakinya harus melangkah. Dinginnya malam seakan membekukan harapannya. Malam itu, sesuatu yang aneh kembali terjadi.
"Saya bermimpi, ada orang yang datang pada saya dan berkata pada saya. ‘Bangau, coba kau lihat penumpang-penumpang yang jatuh dari pesawat itu. Itulah teman-temanmu.' Waktu saya lihat, mereka ditutup dengan plastik. Saya ngga melihat dengan jelas siapa-siapa saja itu. Waktu itu saya tahu kalau teman-temanku sudah meninggal, cuma saya sendiri yang selamat. Ketika bangun pagi, saya merasa sudah tidak kuat lagi. Saya tahu kalau teman-temanku dan bapakku sudah meninggal, saya sudah tidak kuat lagi. Saya menangis dan saya pasrah kepada Tuhan. Saya juga berdoa begini, ‘Tuhan, saya sudah tidak mampu lagi. Saya sudah tidak kuat lagi untuk berjalan mencari jalan keluar. Jika Tuhan mempunyai rencana buat saya, selamatkanlah saya dari maut ini. Kalau Tuhan tidak mempunyai rencana, sekarang saya sudah siap diambil oleh Tuhan. Untuk menunggu hasil doa itu saya tetap berjalan."
Di tengah-tengah keputusasaan dan sisa-sisa tenaga yang ada, John terus melangkahkan kakinya meskipun ia tidak yakin masih ada jalan keluar.
"Tiba-tiba, ketika berjalan, saya menemukan sawah. Ketika melihat sawah, tiba-tiba rasa lelah itu hilang. Saya langsung merasa kuat. Ketika saya melihat ke sekeliling sawah ternyata ada satu orang yang sedang bekerja. Ketika saya melihat orang yang sedang disawah, saya langsung berpikir kalau saya selamat. Ketika saya panggil, ‘Pak..' Dia malah takut. Dia gemetar. Karena dia lihat rambut saya panjang, di sekeliling kelopak mata saya hitam. Dia kelihatan bingung. Saya ceritakan kalau pesawat saya jatuh dan semua teman saya mati. Hanya saya yang selamat. Dia peluk saya dan kasih saya makan."
Setelah menempuh dua jam perjalanan, akhirnya John tiba di desa terdekat.
"Setelah selesai mandi, tiba-tiba tubuh saya gemetar, lemas dan akhirnya saya jatuh pingsan."
Lima hari terlunta-lunta di dalam hutan, membuat John mengalami kelelahan fisik yang sangat berat. Akhirnya warga segera membawanya ke rumah sakit terdekat dan memberitahukan keberadaan John kepada keluarganya.
"Saya ketemu dengan kakek, nenek, om, tante dan mamak ku membuat saya benar-benar terhibur. Saya menangis karena bisa bertemu dengan keluarga saya. Tapi mamak saya bilang jangan menangis, ‘Yang sudah terjadi biarlah terjadi, kita serahkan sama Tuhan.' Saya sedih karena tidak bisa melihat bapak saya, tapi saya dikuatkan oleh mamak saya. Dia bilang, "Mamak ini yang harusnya paling sedih. Karena yang mamak pikirkan, bapakmu pergi, dan kamu juga pergi.' Mamak saya peluk saya dan cium saya. Dia katakan, ‘Sabar saja, ini jalan yang terbaik buat kita.'"
Tragedi kecelakaan pesawat 16 Juli 2002 di Tarakan, Kalimantan Timur tersebut menewaskan sembilan orang, termasuk almarhum ayah John. Namun John bersyukur, tangan Tuhan menolongnya dan meluputkan dari kematian.
"Kalau sekarang saya berpikir, waktu itu adalah malaikat yang Tuhan kirimkan (Bapaknya yang ia temui di hari ketiga yang memberi ia makan dan minum - red), bukan bapak saya. Tuhan yang menyelamatkan saya. Dia selalu setia mendampingi saya selama di hutan. Dan Tuhan sudah memberikan saya kesempatan hidup untuk kedua kalinya. Saya akan mempergunakan hidup yang sudah Tuhan berikan ini untuk melayani Tuhan, dan untuk menjadi alat Tuhan sampai akhir hidup saya.
(Kisah ini ditayangkan 20 Januari 2010 dalam acara Solusi Life di O'Channel).
Sumber Kesaksian:John Bangau Sumber : V100118130837